

DIARY.CO.ID – UU. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) telah berusia 45 Tahun. Terdapat beberapa ketentuan pasal di dalam UUP yang masih bias gender sehingga perlu ada upaya rekonstruksi atau pembaharuan. Implikasi bias gender akan melahirkan ketidakadilan dan subordinasi khususnya terhadap perempuan. Seperti Pasal 4 ayat (2) tentang Syarat-Syarat Poligami yang menyatakan: Bahwa Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a). Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, b). Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, c). Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal ini terkesan pro-poligami, semua alasan yang membolehkan suami berpoligami hanya dilihat dari perspektif kepentingan suami, dan sama sekali tidak mempertimbangkan perspektif keadilan perempuan (istri satu-satunya sumber kesalahan dan kekurangan). Faktanya dimasyarakat, justru banyak juga kaum laki-laki atau suami yang tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami, suami mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau suami yang tidak dapat memberikan keturunan (mandul). Ketentuan UUP tentang poligami ini jelas menunjukan posisi subordinat dan ketidak-adilan perempuan dihadapan hukum perkawinan.
Dalam artikel ini, penulis tidak menghukumi bahwa poligami itu hukumnya haram atau dilarang, karena secara syariat ketentuan tentang poligami memang tertulis. Penulis hanya mengkritisi bahwa praktik poligami yang banyak dipraktikkan di masyarakat saat ini tidak berangkat dari ketentuan UUP sebagaimana di atas. Selain itu, praktik poligami saat ini juga tidak sejalan serta jauh seperti praktik poligami ala-Rosulullah SAW. Praktik poligami Rosulullah SAW memiliki misi yang sangat mulia, diantaranya adalah menjaga kehormatan janda-janda tua yang mana suaminya meninggal di medan perang, janda-janda miskin, melindungi anak-anak yatim yang terlantar, serta menyatukan kabilah-kabilah sebagai upaya agar dapat mengenal dan memeluk Islam.
Jika memang poligami yang dipraktikkan saat ini tidak berdasarkan pada UUP sebagaimana di atas, dan praktik tersebut juga jauh dari praktik poligami ala-Rosulullah SAW., maka dapat disimpulkan bawah poligami yang dipraktikkan tersebut adalah semata-mata untuk pemuas nafsu biologis laki-laki semata. Dan praktik poligami tersebut dapat penulis sebut sebagai “Radikalisme Poligami”. Radikalisme tidak semua berupa aksi kekerasan atau teror, namun juga dapat berbentuk sikap dan praktik perkawinan. Dalam arti bahwa perkawinan poligami yang tidak berdasarkan, tidak sesuai dan menerobos ketentuan UUP juga dapat disebut sebagai radikalisme poligami. Penulis sebut poligami radikal karena faktanya poligami yang dipraktikan tidak sesuai dan tidak berangkat dari ketentuan UUP (pasal 4 dan 5) dan jauh dari substansi kemuliaan poligami yang dilakukan oleh Roasulullah SAW.
Mengapa disebut sebagai poligami radikal, karena jika diteliti secara obyektif, istri pertama sehat lahir dan batin, istri pertama taat dan patuh kepada suami, istri menjalankan kewajibannya, istri menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya, istri merawat suami dan anak-anak, istri menjaga rumah tangga dengan baik, istri juga dapat memberikan dan melahirkan keturunan serta istri dapat mendidik anak hingga dewasa dengan penuh kasih dan sayang. Berapa % (persen) atau berapa laki-laki yang melakukan praktik poligami karena istri tidak menjalankan kewajibannya, atau istri mendapat cacat badan, atau karena istri mandul? Justru fakta menunjukkan suami yang melakukan praktik poligami, istri kedua jauh lebih cantik dari istri pertama, istri kedua jauh lebih muda dari istri pertama. Seyogyanya praktik perkawinan poligami memperhatikan aspek perlindungan terhadap janda-janda miskin dan anak-anak yatim terlantar. Faktanya saat ini poligami tetap dijalankan namun janda-janda dan anak-anak yatim dilupakan dan ditelantarkan.
Di kalangan perempuan, disni banyak sekali yg tidak menginginkan poligami, sering kali menjadi perdebatan didalam kekeluargaan.
Misal pak Jika serang istri mrasa dirinya meminta keadilan atas permintaan suami untuk berpoligami tentang perasaan seorang istri tersebut dengan alasan istri tidak bisa melahirkan keturunan bukankah serang laki2 juga ingin merasKan memiliki keturuan bahkan semua orang ingin merasakannya lantas bagaimana pak solusi untuk kedua pihak tersebut tanpa saling menjatuhkan antar dua belah pihak yang saling berhubungan itu jika keduanya masi berfikir keras tentang apa yang mereka inginkan apakah berpisah bisa menjadi solusi untuk keduanya🙏🙏
Tinggal sekarang, apakah ke depan yang akan dipidanakan adalah praktik poligami yang dilakukan tidak sesuai ketentuan UU ataukah semua bentuk poligami secara mutlak. Tentu, pilihan-pilihan ini memerlukan kajian lebih mendalam. Jika ketentuannya pidana, maka bisa jadi yang bakal terkena pidana bukan hanya laki-laki saja (suami poligam), tetapi juga perempuan yang menjadi isteri kedua dan seterusnya. Padahal, yang terakhir ini seringkali juga korban.
Disitu kajiannya, memang harus ada sebab diperoleh kannya untuk berpoligami.tapi jika pada seorang istri itu tidak memiliki kecacatan ataupun penyebab yang lain,akan tetapi, ia mengizinkan suaminya untuk berpoligami meskipun tidak seperti yang dilakukan rosulullah Saw (janda) itu apa juga termasuk dalam radikal?