Dosen Menjadi Cendekiawan atau Birokrat?

Ilustrasi
Ilustrasi

DIARY.CO.ID – Merujuk Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2009 Tentang Dosen, bahwa dosen memiliki tugas mulia yaitu menjadi cendekiawan sekaligus ilmuwan. Profesi sebagai dosen adalah sebuah jenis pekerjaan dalam kategori profesional, maka jabatannya pun adalah jabatan fungsional mulai dari asisten ahli, lektor, lektor kepala (Associate Profesor), dan capaian tertingginya adalah Guru Besar (Profesor). Artinya masa depan ilmu untuk kedamaian sebuah bangsa, negara, bahkan dunia, itu ada dipundak seorang dosen sebagai ilmuwan.

Faktanya saat ini dosen menghadapi tantangan yang kompleks untuk sampai pada tataran cendekiawan. Tantangan dan problem kecendekiawanan saat ini sudah berbeda dengan era sebelumnya. Selain mengajar dan pengabdian masyarakat, dosen juga diwajibkan untuk menulis buku monograf dan referensi, memahami glosarium dan indeks, tak kalah pentingnya adalah riset yang lebih mendalam, dengan metode, teori terkini, state of the art, reserach Gap, novelty, bahankan pendekatan yang digunakan dalam riset tidaklah cukup hanya menggunakan pendekatan interdisipiner saja tapi juga pendekatan mutiinterdisipiner dan transdisipiner, belum lagi media dan publikasi juga telah jauh berubah, perkembangan jurnal ilmiah dan globalisasi ilmu menuntut para cendekiawan untuk mengikuti alur dan pendekatan baru, seperti Scopus H-Index, Sitasi dan lain sebagainya. Jika dosen tidak mengikuti alur dan perkembangan baru ini, maka akan sulit menjadi ilmuwan berkelas apalagi mendunia.

Baca Juga :  Saat Seminar Kebudayaan, Rektor UNILA Gagas Hubungan Antara Sejarah Budaya Lampung - Banten

Permasalahannya adalah, dosen untuk menjadi cendekiawan/ilmuwan berkelas dan bisa mendunia, saat ini menghadapi tantangan yang sangat kompleks, dosen saat ini lebih banyak disibukkan dalam hal administrasi yang sangat berat, berbelit-belit dan sangat tebal. Misalnya, seperti mengisi pemberkasan, mengurus surat tugas dan surat keputusan, mengisi penilaian kinerja, laporan keuangan penelitian, surat ijin dari pejabat terkait, laporan biaya transportasi, penginapan, kwitansi perjalanan dinas, konsumsi dan bukti-bukti lain. Belum lagi beban jumlah SKS terlalu banyak dan kewajiban kewajiban lain yang menyita waktu, tenaga dan pikiran para dosen. Bahkan ada dosen lebih asyik melakukan kegiatan di luar Kampus yang tidak ada relevansinya untuk pengembangan keilmuwan dan kemajuan Kampus.

Dampaknya adalah dosen tidak bisa maksimal untuk mengembangkan keilmwuan dan pengetahuan baru, karena dosen lebih banyak menyelesaikan kewajiban administrasi. Sehingga kondisi Kampus-Kampus saat ini banyak melahirkan birokrat, administrator, politisi, dan belum begitu kondusif untuk melahirkan ilmuwan, peneliti dan kemajuan ilmu pengetahuan. Karena motivasi untuk menjadi ilmuwan terbilang rendah, karena penghargaan yang terlalu minim, sehingga tidak mengherankan, jika dosen banyak yang sukses dengan karir dikepemimpinan, struktural, birokrasi, administrasi kampus, atau kementerian, namun sedikit yang sukses sebagai ilmuwan kompetitif level internasional.

Kesimpulannya adalah administrasi yang terlalu berat ini, membelenggu kebebasan dan kreatifitas dosen untuk menjadi ilmuwan yang berkelas dunia, sehingga dosen sudah tidak mampu untuk menjadi ilmuwan yang mendunia tetapi dosen saat ini lebih menjadi seorang birokrat.

Baca Juga :  Tingkatkan SDM Mahasiswa Komunikasi, PW 2 IMIKIĀ  Gelar Forum Dialog Kebangsaan

Oleh: Habib Sulthon Asnawi, S.H.I.,S.H.,M.H.
(Lawyers IAIM-NU Metro Lampung)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*